Baby Don't Cry (Fan Fiction)

Posted by : farah
Sabtu, 15 Juni 2013


Baby Don’t Cry

Author                  : Ms. FS
Cast                      : -Oh Sehun
                                -Xiao Lulu (yeoja)
                                -Other cast
Genre                   : Romance, tragedy, sad
Rate                     : Author bingung soal beginian -_-
                Fiuh, saya merasa benar-benar aneh. Padahal di tengah-tengah UKK, saya malah mendapat inspirasi buat FF ini. Sangat disarankan baca sambil dengerin lagu EXO yang ‘Baby Don’t cry’. Kalau nggak punya nggak papa deh. RCL dari chingu sangat saya harapkan. No Bash! No Plagiat! Udah ah, tanpa banyak bacot, silahkan dinikmati ^o^)/

Baby don’t cry tonight
None of this will have happened
It’s not you who will become short lived
So baby don’t cry, cry
Because my love will protect you
.
.
.
-Flashback-
                “Hiks, hiks, hunnie. Aku lapar”, tangan kecilmu menarik-narik baju belakangku. Suara perut keroncongan berdemo ingin segera diisi memenuhi telingaku. Aku baru berumur 7 tahun sedangkan kau baru berumur 5 tahun saat itu. Aku yang masih terlalu kecil untuk berpikir dewasa tentang apa yang menyebabkanmu menderita seperti itu hanya bisa membawamu ke rumahku, meminta umma untuk memberikanmu makanan.
                “Kenapa kamu tidak makan di rumah?”, tanyaku sambil menatapmu yang tengah makan dengan lahap. “Umma dan appa Lulu tidak ada di rumah”, jawabmu dengan mulut penuh makanan. Kalau sudah begini umma dengan tangan terbuka selalu menerimamu kapanpun saat kau lapar.
Entah pikiran apa yang melintas di kepalaku saat aku dengan cepat mengatakan kalimat yang sangat berpengaruh besar. “Aku sayang Lulu”, ucapku sambil mataku tak pernah lepas darimu yang masih saja makan dengan lahap. “Jinjja? Kalau begitu, maukah Hunnie selalu di sisiku? Aku takut kalau nanti umma dan appa pergi, aku nanti akan sendirian”, pintanya dengan mimik lucu. Umma tertawa mendengar celotehan kami. Khas anak kecil.
                “Umma, bolehkah aku kelak menikah dengan Lulu? Aku menyayanginya umma”, umma sontak berhenti tertawa saat mendengar pertanyaanku. “Itu kan dipikirkan kelak saat kau dewasa Sehun-a. yang terpenting sekarang jagalah selalu Lulu dengan baik, agar kelak kau bisa menikah dengannya”, ucap umma membuat hatiku berbunga seketika. Bagiku yang saat itu masih berfikiran dangkal, ucapan umma sama dengan persetujuan.
                “Yey! Hunnie akan jadi pengantinku!”, teriakmu senang. Itulah senyum terindah yang pernah kulihat dari wajah manismu.
***
Mataku kosong. Menerawang. Tak tahu apa yang tengah kupikirkan. Kuedarkan pandanganku di seluruh ruangan flat bobrok milikku. Ah, ani. Milik kita. Baru seminggu yang lalu kita hidup bersama, tapi sekarang semuanya hanya kenangan belaka. Hanya kenangan yang mungkin akan segera kuakhiri.
Pandanganku tertuju pada sebuah foto usang berbingkai kayu yang berhiaskan jamur di sana-sini. Kuambil pelan foto itu. Takut tanganku yang terbiasa bekerja kasar membanting tulang, merusaknya. Disana, aku tengah tertawa lebar bersama gadisku. Ya, gadisku. Yaitu kau. Kau yang sudah 21 tahun bersamaku. Aku sudah tak ingat kapan terakhir kali dirimu yang sangat kucintai dengan segenap jiwa ragaku ini tersenyum.
Tes! Butiran kristal dari mataku tepat mengenai wajahmu. Dengan cepat aku membersihkannya. Aku tak mau menodai wajahmu yang selalu menjadi candu untuk kubelai dengan lembut. Aku adalah namja paling bodoh di dunia. Namja yang dengan bodohnya tidak pernah bisa membuat hati dan mata gadisnya berhenti mengeluarkan airmata.
-Flashback-
                Aku baru saja melangkahkan kakiku dari kelas sesudah mata kuliah sastra yang sangat membosankan. Langkahku terhenti saat suara lembutmu memanggilku dengan pelan.
                “Hunnie-a”, panggilmu lirih. Tanpa berpikir dua kali pun aku tahu bahwa kaulah yang memanggilku, karena hanya kaulah yang memanggilku dengan panggilan sayang itu. Aku memandangmu lembut. Jantungku serasa berhenti berdetak saat kulihat matamu memerah, tetapi bibirmu mencoba tersenyum walaupun aku tahu bahwa itu senyum terpaksa.
                “Lu? Neo gwaenchana?”, tanyaku panic. Bodoh! Tak mungkin kau baik-baik saja jika dalam keadaan seperti ini. Aku merengkuhmu ke dalam pelukanku. Entahlah, aku tak ingin tangisanmu terdengar. Kalaupun kau menangis, biarlah aku yang mendengarnya.
                “Nan gwaenchana hunnie. Kau tak perlu sekhawatir itu”, jawabmu gugup. Apa ini? Kenapa kau berkata seperti itu? Apa yang kau sembunyikan Lu? Aku segera menarikmu ke dalam kelasku yang dalam keadaan kosong.
                “Hiks, hiks”, bingo! Aku mendengarnya. Tangisanmu keluar. Lagi. God, apa yang kau lakukan hingga membuatnya seperti ini? Kuangkat wajahmu menatapku. Jiwaku terasa hancur berkeping-keping melihatmu dengan mata basah memerah, bibir bergetar menahan suara tangisan. Kuusap pelan kristal air yang terus mengalir dari mata indahmu.
                “Apa yang terjadi? Ceritakanlah. Kumohon Lu”, pintaku sambil tak henti-hentinya berusaha menghapus airmata sialan itu. Tanganmu dengan gemetar mengambil secarik kertas dari dalam tas kecilmu dan menyerahkannya padaku. Aku tak tahu apa isi kertas itu, tapi aku yakin itulah yang membuatmu benar-benar kacau. Kubuka dan kubaca dengan cepat kertas itu. Tak butuh satu menit untuk mengetahui apa isinya. Hasil tes kesehatan. Positif kanker otak memasuki stadium dua. Aku tak tahu apa yang harus kukatakan. Kupeluk dengan cepat tubuh kecilmu. Kukecup lembut pucuk kepalamu.
                “Apa yang harus kulakukan hunnie? Aku tak mau orangtuaku tahu tentang ini”, tangisanmu semakin kencang. Tes! Sial! Dalam keadaan seperti ini seharusnya aku membuatmu tenang, yang terjadi malah sebaliknya.
                “Katakanlah yang sebenarnya Lu. Mereka adalah orangtuamu. Aku yakin mereka akan berusaha memberikan yang terbaik untukmu”, saranku. Kau menggelengkan kepala dengan kuat. “Aku terlalu takut hunnie-ah”, balasmu. “I’m here Lu. I’m with you”
***
Baby don’t cry~ in this stormy night
(like the sky is about to fall)
Baby don’t cry tonight
It’s fitting for a night like this
.
.
.
Kalau aku tak mempunyai hati dan perasaan di dalam diriku, aku pasti akan langsung meninggalkanmu saat membaca tentang kanker otak sialan itu. Tapi tidak. Aku mempunyai hati dan perasaan, dan semua itu hanya mengorbit padamu Lu. Matahariku. Jullietku. Dewiku.
Lu, kau sangat bodoh. Kau miskin. Tapi aku tak bisa dan tak akan bisa melupakanmu, meninggalkan dirimu begitu saja. Gadis rapuh milikku. Gadis yang selalu saja menangis. Gadis yang selalu saja mendapatkan apa yang disebut masalah kehidupan.
Jantungku terasa bekerja lebih cepat saat mengingat lagi kenangan masa lalumu. Masa lalu kita. Hormon adrenalinku dengan cepat mendorongku untuk melempar foto dirimu bersamaku yang di dalam genggamanku. Pecah. Bingkai foto itu pecah, tak ubahnya dengan hatiku yang sama pecahnya.
Lu, kau bodoh! Seandainya saja kau dulu bisa mendapatkan beasiswa, kau tak akan mendapatkan bayaran atas tak pernahnya kau membayar SPP.
-Flashback-
                Kuedarkan pandanganku ke seluruh bagian kelasmu. Kosong yang ada hanya beberapa gelintir anak yang masih sibuk dengan kegiatannya masing-masing. “Krystal!”, panggilku pada salah satu sahabatmu. “Eoh, Sehun. Waeyo? Tumben kau tidak bersama Lulu?” tanyanya. “Itulah yang ingin kutanyakan. Kalaupun aku tahu dia dimana, aku tak akan memanggilmu”, balasku sebal. Sunny, yang juga sahabat dekatmu ikut bergabung dengan kami.
                “Kau mencari Lulu eoh?”, tanyanya langsung. Aku hanya mengangguk mengiyakan. “Aku juga tak tahu pasti. Tapi, saat kelas berlangsung, asisten Rektor memanggilnya. Kau tahu, wajahnya sangat pucat saat dia dipanggil. Sehun-a, sebenarnya ada apa dengan dia?”, sial! Ini pasti soal pembayaran kuliah yang belum juga kau lunasi.
                “Apa dia sudah lama?”, tanyaku lagi. “Mungkin sekitar 1 jam yang lalu”, jawab Sunny. Tanpa berterima kasih, tanpa pamit, aku langsung melesat cepat. Ruang Rektor. Aku yakin kau ada disana. Masalahnya, Rektor bukanlah orang baik. Dia akan meminta apapun sebagai syarat jika seorang mahasiswa tidak bisa melunasi biaya kuliahnya. God, kalau saja aku tidak miskin, aku pasti akan membayar biaya kuliah Lulu. Kakiku bergetar hebat saat aku baru saja sampai di depan Ruang Rektor.
                Kau tahu Lu? Aku serasa mati di tempat saat aku mendengar suara isakanmu dari dalam sana dan aku tahu itu pertanda buruk. Entah setan mana yang mendorongku untuk menerobos masuk ke ruang rector. Disana, aku melihatmu dalam keadaan yang sangat menyedihkan dengan posisi rector berada di atasmu.
                “Eoh, ada tamu rupanya. Maafkan aku. Aku harus menuntaskan tugas dulu”, inikah wajah orang yang dihormati satu kampus? Cih! Dia tak ada bedanya dengan monyet yang tak berotak, tak berakal, tak berperasaan. Aku bersyukur. Setidaknya kau tidak menikmatinya Lu. Aku bisa melihatnya dari wajahmu.
                “Seongsaengnim, saya ada urusan mendesak dengannya. Bisakah saya membawanya pergi?”, tanpa persetujuannya, aku langsung menarikmu, memakaikanmu pakaian dengan cepat. “Seongsaengnim, bisakah anda nanti pukul 6 sore datang ke kelas saya? Saya ada urusan penting dengan anda, dan saya harap anda datang tepat waktu”, ucapku cepat. God, bahkan aku lupa kalau tadi itu pasti sangat menyakitkan bagi Lulu hingga dia tak bisa berjalan. Akupun langsung menggendongmu.
                Tubuhmu bergetar. Bajuku basah oleh keringat dan airmatamu yang tak berhenti keluar. Kau sangat bodoh Lu. Kau bahkan lebih memilih harga dirimu hancur hanya untuk membayar biaya kuliah bodoh itu!
                Jam 6 sore. Dengan senyum setan, aku menatap ke arah rector bajingan itu. “Apa yang kau inginkan? Kau ingin membunuhku eoh?”, cih! Bahkan disaat mendekati ajalpun dia masih sempatnya sombong. Tanpa menjawab pertanyaannya, aku langsung meringsek maju, mendekatinya. “Setan harus mati”, ucapku. Kutusukkan pisau di genggamanku tepat mengenai perutnya. Aku tersenyum keji. Itu tak seberapa. Kutusukkan lagi pisauku ke arah jantungnya berkali-kali. Aku yakin malaikat maut sudah membawanya pergi.
***
You are my girl
Always be my girl
I will do anything for you
Cause I never wanna let you cry
Baby, please don’t cry
.
.
.
Aku tertawa keras. Mengingat semua yang telah aku lakukan. Lu, bahkan aku telah membunuh sang Rektor, hanya untukmu. Only you. Ternyata polisi zaman sekarang masih juga kesulitan menghadapi kasus seperti itu.
Lu, kau tahu, mungkin inilah yang membuat kita selalu bersama. Aku miskin, kau miskin. Aku bodoh, kau pun juga bodoh. Kita adalah pasangan paling serasi di dunia. Bahkan ummaku pernah mengatakan itu.
Lu, kenapa semua itu harus terjadi padamu? Gadisku. Kenapa tak aku saja yang menerima semua ini?
-Flashback-
                Aku baru saja mengantarkanmu pulang ke rumahmu. Langkahku terhenti seketika saat kudengar suara barang pecah dari dalam rumahmu. Kau mematung di depan rumah. Tubuhmu bergetar. Lagi. Kau menangis.
                “Oh, jadi kau sekarang menyalahkanku ha?? Dasar namja brengsek!! Masih untung aku mau bekerja demi kehidupan kita, tapi apa? Sekarang kau meminta kita bercerai??”, teriakan ummamu menggetarkan hatiku. Segera kurengkuh tubuhmu. Kututup kedua telingamu dengan tanganku, agar kau tak mendengar suara makian-makian tak bermoral itu.
                “Kau tak mau disalahkan eoh?? Kalau begitu, buang saja anakmu yang selalu saja menyusahkan itu!”, balasan appamu sontak membuat ummamu tak bisa berbicara. Kau kini bergetar semakin hebat dalam pelukanku. “Ayo kita pergi lu”, aku segera menarikmu pergi dari rumahmu yang penuh dengan hawa pertengkaran.
                “Kenapa semua ini terjadi padaku, hunnie?”, matamu menatap kosong ke arah depan. Deg! Kau tak menyadarinya, darah mengalir pelan dari hidungmu. God, apalagi ini? “Lu, hidungmu berdarah!”, teriakku panic. Kau hanya diam saja, seolah sudah biasa menerimanya. Aku segera menghapusnya dengan lengan jaketku. “Kajja kita ke rumah sakit!”, aku segera menarikmu. Tapi apa? Kau bahkan hanya mematung di tempat.
                “Kenapa kau panik sih? Aku baik-baik saja”, ucapmu santai. “Aku tak mau kehilanganmu Lu. Kajja, kita harus pergi sebelum semuanya terlambat”, kau bahkan tertawa saat aku menarikmu. “Kalau aku pergi, bukankah itu lebih baik? Aku tak akan menyusahkan diriku dan dirimu lagi”, deg! Tuhan, tolong ingatkan padanya bahwa aku sangat mencintainya, agar dia mau melakukan apa yang kuminta.
                “Sudahlah hunnie, aku hanya kecapekan. Mungkin aku akan menginap di rumahmu, malam ini. Kajja kita ke rumahmu”, aku hanya menurut. Hanya menurut. Dan berdoa agar kau baik-baik saja.
***
Kau bodoh Lu dan aku mencintaimu. Aku hanya bisa terus mengatakan itu. Aku mencintaimu yang bodoh, aku mencintaimu yang berhati tulus, aku mencintaimu karna aku ingin melindungimu, dan aku adalah namja bodoh. Kalau saja aku tidak mencintaimu, aku tak akan pernah terjerumus dalam duniamu yang penuh dengan benang-benang yang tak akan bisa ketemu ujungnya.
Lu, kau keras kepala. Kalau saja kau menuruti perkataanku untuk berobat, kau tak akan pergi Lu. Setidaknya kau masih mempunyai waktu untuk hidup walaupun hanya untuk satu Bulan. Setidaknya aku akan berusaha mencari dana untuk pengobatanmu.
Bibirku terangkat ke atas membentuk bulan sabit kecil. Aku memandang flat kita yang penuh dengan hiasan karyamu dan foto-foto kita. Kuambil pecahan kaca figura yang baru saja kurusak. Aku menggenggamnya kuat. Darah mengucur pelan dari jari-jariku. Saat terakhir itu, kembali terputar dalam otakku.
-Flashback-
                “Hunnie, bagaimana kalau ini diletakkan disini?”, tanyamu. Hari ini, dengan sedikit bantuan dari orangtuaku, kau dan aku akhirnya bisa tinggal bersama, walaupun hanyalah sebatas flat kecil. Ah, lihatlah! Wajahmu yang belepotan dengan cat terlihat sangat manis. “Apa itu Lu? Apa kau yang membuatnya?”, kau mengangkat tinggi-tinggi hasil buatan tanganmu. “Hiasan dinding berbentuk rusa. Bagaimana menurutmu?”, aku tersenyum. “Letakkan saja di kamar kita Lu”, ucapku. Kau tersenyum senang.
                God, apakah kau tak mengizinkanku dan Lulu untuk berbahagia walau hanya sejenak saja?
Saat itu, aku baru saja keluar dari kamar mandi setelah seharian penuh memindahkan barang ini-itu, membersihkan ruangan, dan menghiasnya. “Lu, apakah kau lapar?”, teriakku dari dapur hendak memasak sesuatu untuk makan malan kita. Tak ada sahutan darimu. Aku segera mencarimu di kamar. Disanalah kau, tergeletak dengan hidung penuh dengan darah. Aku panic bukan main. Dengan mobil pinjaman appa, aku segera membawamu ke rumah sakit.
“Ini sangat parah. Kankernya sudah memasuki stadium akhir. Kalau sekarang melakukan pengobatan, nyawanya mungkin masih bisa tertolong hingga 3 sampai 5 Bulan. Kalau tidak, mungkin dia hanya bisa bertahan beberapa hari saja. Bukankah dulu saya pernah menyarankan kepadanya untuk melakukan pengobatan?”, sang uisa membawa kabar buruk, terburuk di dunia. Aku tak membalas ucapan uisa, dan berjalan gontai menuju ruanganmu.
“Lu, apa kau baik-baik saja? Bukalah matamu”, kugenggam tanganmu dengan kuat. Matamu terbuka secara perlahan. Syukurlah, kau hanya pingsan. “Hunnie, aku kan tidak apa-apa. Ayo kita pulang”, kau bahkan terlihat tak ada beban sama sekali. Kau juga masih bisa tersenyum. “Aniyo. Kau harus dirawat Lu. Kau sakit”, bantahku. Kau menggeleng kuat.
Dengan segala keterpaksaan, akhirnya aku membawamu pulang. Appa dan ummaku panic sekali saat tahu apa yang menimpamu. Lihatlah Lu, masih ada orang yang menyayangimu.
6 days later…
                “Hunnie, aku lapar. Suapi aku ne?”, rayumu dengan manja. “Arraso, chakkaman ne”, aku segera membuatkanmu makanan untukmu. Aku memasak dengan hati-hati. Berusaha sebisa mungkin agar rasanya menjadi sempurna.
                “Lu, makananmu sudah siap! Omo! Kenapa malah tidur sih?”, rasanya jantungku was was melihatmu tertidur. “Lu, ireona”, kutepuk pelan pipimu. Tak ada respon. Aniya, jangan berpikir macam-macam Oh Sehun! Aku mencoba meraba pegelangan tanganmu. Tak ada denyut. Kucek di bawah hidungmu. Tak ada hembusan. Tubuhku merosot ke lantai. Lidahku kelu. Aku menggeleng kuat-kuat. Butiran-butiran Kristal mulai mengalir di mataku.
                “Lihatlah Lu, bahkan sekarang akulah yang menangis. Tunggulah aku Lu”
***
I am completely drunk at your movements
I even forgot how to breathe
.
.
.
Kuedarkan pandanganku untuk terakhir kalinya ke seluruh flat kita. Jari-jariku yang berlumuran darah mengambil dengan hati-hati foto kita yang tertutup pecahan kaca. “Lu, aku akan menyusulmu. Tunggulah aku disana”, bisikku lirih.
Pelan. Kugoreskan pecahan kaca yang masih kupegang kea rah pembuluh nadiku. Semakin dalam. Darah. Aku tersenyum. Bumi mulai berputar. Dingin. Disana, aku melihatmu mengulurkan tanganmu. Aku meraihnya. Baby don’t cry. I’m with you. Kita bersama Lu, selamanya.
***
My eyes naturally follow you every time you walk
Guide me
Take me together with you
You’re my only beautiful butterfly
Don’t go out of my sight
Baby don’t cry
Cause I always here
To protect you

THE END

0 komentar:

Copyright © 2012 My Blog | Another Theme | Designed by Johanes DJ