Let Me
Erase Your Pain
Author : Ms. FS
Cast : -Lee Soumi
-Kim Jong In (Kai)
Genre : Pikir sendiri ya, author males ngetik XD
Length : Oneshoot
Disclaimer :
Fanfiction
ini murni buatan saya sendiri, walaupun ada sedikit yang terinspirasi dari fanfiction
lain. Mian, ada banyak typo bertebaran dan bahasa tidak sesuai dengan EYD.
Happy
RCL! Happy Reading! \(^o^)/
Careless, careless
Shoot anonymous
Heartless, mindless
No one who care about me
~~~
Soumi POV
Mual. Itu yang kurasakan. Bau
alkohol bertebaran dimana-mana. Pemandangan yang tidak patut ditonton,
dipertontonkan dengan gratis di dalam bar ini. Hiruk pikuk bar ini sebenarnya
bukanlah tipeku. Kalau saja aku tidak ingin bertahan hidup mungkin aku tidak
akan ada disini. Suasana di dalam bar ini sudah menjadi makanan sehari-hariku.
Ya, aku bekerja di tempat jahanam ini, tepatnya sebagai bartender. Aku adalah
satu-satunya bartender wanita yang ada disini. Satu yang paling kubenci
diantara sekian banyak hal-hal buruk disini, yaitu apabila ada namja menatapku
dengan tatapan ‘lapar’. Memang itu sudah resiko bagi yang bekerja disini,
bahkan hampir setiap hari ada saja yang mengajakku ‘main’ dan tentu saja
langsung kutolak.
Kutuangkan tequilla ke dalam gelas
kecil. Ahjussi di depanku ini entah sudah menghabiskan berapa gelas tequilla.
Sepertinya dia sudah benar-benar mabuk. Dia berkali-kali berteriak-teriak tidak
jelas.
“Tuan, saya tidak bisa memberi anda
lagi. Anda sudah terlalu mabuk”, ucapku padanya. Ahjussi yang kira-kira sudah
berumur kepala 4 ini menatapku tajam. Bruk! Tiba-tiba ahjussi itu jatuh dari
tempat duduknya. Segera saja aku menghampiri dan membopongnya, aku
berfikir dia pingsan. Grep! Ahjussi ini tiba-tiba
memelukku.
“Kau cantik juga ya, bagaimana kalau
main denganku?”, ucap ahjussi ini mesum. Kudorong tubuhnya agar menjauh dariku,
tapi aku sepertinya sudah terperangkap.
“Ayolaaah. . . istriku itu
menyebalkan! Kau harus mau mengganti istriku”, racaunya. Aku benar-benar takut.
Aku terus berusaha mendorongnya.
“Andwae! Pergi kau!”, bentakku
frustasi. Ahjussi itu semakin mendekat dan hendak
menciumku. Bug! Tiba-tiba kudengar suara pukulan melayang mengenai
ahjussi mesum itu. Kubuka mataku perlahan. Ahjussi itu jatuh tersungkur,
kulihat di sampingku namja tampan tengah mengepalkan tangannya, pertanda bahwa
dialah yang sudah membuat ahjussi itu jatuh tersungkur.
“Ahjussi, kau tuli ya? Yeoja ini
tidak mau main denganmu!”, bentak namja itu. Dia beralih menatapku. Dia sangat
tampan, dengan rambut terlihat agak berantakan, kulitnya terlihat hitam,
membuatnya semakin terlihat tampan dan err. . .
sexy.
“Neon gwaenchana? Kajja, kita
pergi”, belum sempat aku mengucapkan sepatah kata, namja ini membawaku keluar,
menyelamatkanku dari hiruk pikuk bar.
“Dasar! Ahjussi gila!”, gerutu namja
itu.
“Kamshamnida kau sudah
menyelamatkanku”, ucapku tak berani menatapnya. Aku hendak kembali ke dalam
bar, namja itu menahan tanganku.
“Ya! Kau mau masuk lagi?”, tanyanya.
Aku hanya mengangguk. Bagaimana tidak? Masih banyak pekerjaan yang harus
kukerjakan. Bisa-bisa aku dipotong gaji gara-gara tidak melakukan tugas sampai
tuntas.
“Kau ini bagaimana sih? Bagaimana
kalau ahjussi tadi menyerangmu lagi? Atau mungkin namja yang lain?”, tanya
namja itu kasar. Siapa dia? Apa perdulinya pada yeoja macam aku?
“Apa perdulimu?”, tanyaku dingin.
Namja itu melotot sebal.
“Sudah untung kau kuselamatkan dari
ahjussi mabuk tadi, tapi kau malah mau masuk lagi. Kau bodoh atau apa?”,
bentaknya. Aku hanya tersenyum.
“Lalu, apa kau mau mengganti gajiku
hari ini? Aku yakin kalau aku tidak kembali, bosku dengan senang hati tidak
akan membayarku untuk hari ini”, jelasku sambil tersenyum sinis. Dia hanya diam
tak bisa membantah. Aku berjalan kembali masuk ke dalam bar. Hatiku terasa
berdebar saat menatap mata khawatir namja tadi.
“Ya! Kau darimana saja? Ada banyak
tamu tapi kau malah santai, cepat kerja!”, bentak bosku. Aku hanya mengangguk
patuh dan mulai kembali ke belakang meja bar. Selama bekerja, aku merasa sangat
tidak nyaman, seperti ada orang yang mengintaiku. Tapi cepat-cepat kuhapus
pikiran jelekku karena ditatap mata lapar sudah menjadi resiko pekerjaanku.
Pukul 12 malam, pekerjaanku baru
selesai. Tubuhku terasa sangat penat. Harus mengocok dan mencampur banyak
minuman beralkohol yang membutuhkan kecepatan membuat badanku terasa pegal.
Segera kukenakan jaketku untuk menghangatkan tubuhku dari dinginnya udara
malam. Kutenteng tasku dan mulai melangkah keluar bar.
“Annyeong!”, namja yang tadi
menyelamatkanku mengagetkanku saat aku baru saja hendak melangkah pergi.
“Neon gwaenchana?”, tanyanya. Apa
namja ini tidak punya pekerjaan? Sedari tadi menungguku disini hanya untuk
menanyakan apakah aku baik-baik saja?
“Sebenarnya apa maumu?”, tanyaku
dingin. Namja itu tersenyum dan berjalan di sampingku, menyamakan langkahku.
“Aku hanya ingin memastikan kau
baik-baik saja”, jawabnya ramah. Baik. Harus kuakui namja ini termasuk suka
mencampuri urusan orang lain, walaupun awalnya aku merasa tertolong dengan
tindakannya yang sok ikut campur.
“Aku tidak mengenalmu dan aku tidak
ingin mengenalmu”, ucapku ketus. Oh ayolah, apa beratnya kenal dengan satu
orang namja? Apalagi namja itu sangat tampan. Andwae! Kau harus berhati-hati
Lee Soumi!
“Baiklah, kalau kau tidak mau
mengenalku, tapi setidaknya biarkan aku memperkenalkan diriku”, namja ini
sangat innocent, benar-benar tak tahu malu.
“Naneun Kim
Jong In imnida, kau bisa memanggilku Kai”, ucapnya memperkenalkan diri sambil
membungkuk.
“Ne”, jawabku datar.
“Ya! Setidaknya kau juga
memperkenalkan dirimu padaku! Jangan hanya dijawab ne!”, namja itu mempoutkan
bibirnya sebal, aku sangat ingin tertawa melihat wajah kesalnya yang terlihat
lucu. Tapi segera kutahan.
“Untuk apa aku memperkenalkan
diriku?”, tanyaku dingin. Namja itu mendecak sebal.
“Baiklah sebagai balasan atas
pertolonganku tadi, setidaknya sebutkan namamu”, aku menatap namja itu. Dia
tersenyum saat aku menatapnya dan menunjukkan puppy eyesnya. Sangat percaya
diri. Baiklah, sepertinya pertahananku runtuh melihat puppy eyesnya.
“Arraso! choneun
Lee Soumi imnida, kau bisa memanggilku Soumi. Puas? Sekarang biarkan aku
pulang”, jawabku sebal dan mendorong namja itu untuk menjauh karena dia sudah
menghalangi jalanku.
“Senang berkenalan denganmu Lee
Soumi-ssi”, ucapnya senang. Saat aku menoleh, dia melambaikan tangannya sambil
tersenyum lebar. Tuhan, jantungku terasa berdebar. Setelah sekian lama, aku
akhirnya merasakan debaran ini lagi. Ottokhae?
Soumi POV end
.
.
.
.
This moment
feels like
I was born like
a child who knew nothing
I closed my eyes
again in case it
Would be a dream
~~~
Author POV
A week later~
Laki-laki
itu mulai melangkahkan kakinya memasuki bar. Dia sepertinya mulai sering datang
ke tempat jahanam itu. Tentu saja dia tidak ingin menambah dosa di daftar
dosanya. Dia hanya ingin menemui bidadari dari surga yang salah masuk tempat.
Kali ini dia tidak sendirian. Dia datang bersama seorang temannya yang
berperawakan tinggi. Beberapa yeoja penjajah seks mulai mendatangi namja itu.
Ani, tidak hanya yeoja.
Bahkan para namja gay juga ikut mendatangi namja itu
“Annyeong
oppa, mau main denganku?”, tanya seorang yeoja berambut dicat pirang. Sesekali
tangan yeoja itu mengelus dada Kai. Kai hanya terus berjalan tanpa menghiraukan
para ‘pemuas nafsu’ itu.
“Yeobo,
main saja denganku, dijamin puas deh”, seorang gay ikut juga mendatanginya. Bulu
kuduk Kai merinding saat namja gay itu mengelus dagunya.
“Mian,
aku hanya ingin minum”, jawab Kai berusaha menolak tawaran-tawaran menggiurkan
itu. Diliriknya Park Chanyeol, teman yang datang bersamanya. Keadaan Chanyeol
tidak ada bedanya dengan Kai. Hanya saja, Chanyeol mulai terpengaruh dengan
godaan-godaan yang datang.
“Kalau
begitu, kutemani minum saja. Kalau cuma minum, bayar murah lo”, tawaran kembali
datang dari seorang yeoja dengan baju yang sangat minim.
“Tidak
usah, terima kasih”, Kai mencoba menerobos orang-orang di depannya.
“Ayolah,
tidak ap. . .”
“Ya!
Kalian tuli ya? Dia itu tidak mau main dengan kalian!”, bentakan seorang yeoja
membuat mereka menoleh ke arah asal suara. Yeoja itu adalah Lee Soumi.
“Ya!
Apa maksudmu? Kau itu cuma bartender”, balas salah satu dari orang-orang itu.
“Perlakukan
pelanggan sebagai raja bukan berarti kau harus memaksanya”, balas Soumi dengan
wajah datar. Dihampirinya Kai dan menariknya menjauh dari kerumunan.
Didudukkannya Kai di kursi bar. Kai hanya menurut dengan apa yang dilakukan
Soumi.
“Aissh.
. . orang tak tahu malu!”, gumam Soumi. Walaupun suara musik yang memekakkan
telinga, ditambah lagi hiruk pikuk orang-orang yang mencari kesenangan, suara
Soumi masih bisa didengar oleh Kai.
“Yeopota”,
ucap Kai spontan. Soumi mulai sadar dengan apa yang sudah dilakukannya. Dia
sama saja mulai masuk dalam dunia Kim Jong In dan mencampuri urusannya.
“Sepertinya
kejadian tadi sama dengan saat kita pertama bertemu”, ucap Kai sambil tersenyum.
Wajah Soumi perlahan memerah. Meskipun keadaan bar remang-remang, tapi Kai
masih bisa melihat semburat merah di pipi Soumi.
“Ya!
Mau apa kau kemari?”, sentak Soumi. Kai terkekeh pelan memandang Soumi. Yeoja
itu baru saja
menyelamatkannya dari ‘pemuas nafsu’, sama seperti saat dia menyelamatkan yeoja
itu dari ahjussi mabuk saat mereka pertama bertemu, tapi
sekarang malah membentak Kai.
“Aku
kan pelanggan. Kenapa kau menyentakku seperti itu?”, Soumi menghela nafas
panjang, mencoba bersabar menghadapi namja di depannya.
“Arraseo.
Kau mau pesan apa tuan?”, tanya Soumi sopan, tapi wajahnya tetap datar.
“Berikan
aku vodka”, jawab Kai. Soumi membungkuk patuh. Mata Kai tidak bisa lepas dari
yeoja bertubuh ramping dalam balutan seragam bartender itu. Matanya terus
mengikuti gerakan yeoja itu yang mulai menuangkan vodka ke dalam sebuah gelas
dengan gerakan cepat.
“Silahkan”,
ucap Soumi sambil meyodorkan segelas vodka.
Author POV end
Kai POV
Mataku tidak bisa kualihkan dari
bidadari di depanku ini yang masih sibuk melayani pelanggan-pelanggan yang
semakin malam semakin ramai. Kenapa saat aku melihat yeoja ini, aku langsung
jatuh cinta padanya?
“Itukah
yeoja yang kau sukai?”, tanya Chanyeol. Aku kaget bukan main. Pasalnya, tadi
Chanyeol tengah terjebak di tengah-tengah setan dengan pakaian minim.
Sepertinya dia sudah berhasil lolos.
“Ne.
bagaimana menurutmu? Dia cantik kan?”, tanyaku meminta pendapat Chanyeol. Mata
Chanyeol menatap Soumi mulai dari atas sampai bawah.
“Neomu
yeopo. Dia bukan pelacur?”, tanya Chanyeol heran. Bagaimana tidak heran,
seorang yeoja bekerja di bar biasanya menjadi pelacur atau penari.
“Ya! Mana
mungkin aku menyukai pelacur? Seleraku masih bagus tau!”, jawabku tidak terima
dengan pertanyaan Chanyeol. Tapi pertanyaan Chanyeol ada benarnya. Di zaman
modern ini masih ada saja yeoja yang bekerja di bar dalam keadaan masih virgin,
meskipun yeoja itu seorang bartender.
“Mungkin
saja kan dia sudah tidak virgin”, mataku membulat sempurna mendengar ucapan
Chanyeol.
“Sepertinya
dia masih suci”, mata kami sama-sama menatap Soumi. “Bagaimana kau bisa tahu
kalau dia masih suci?”, tanya Chanyeol curiga. Ya! Mana mungkin aku melakukan
affair dengan yeoja yang sangat kusukai?
“Kau
tahu, saat aku pertama bertemu dia, aku menyelamatkannya dari ahjussi mabuk.
Aku melihat sendiri bagaimana dia menolak keras untuk diajak tidur ahjussi
itu”,jawabku. Chanyeol mengangguk-angguk paham.
Tiba-tiba Soumi menutup mulutnya,
seperti hendak muntah. Hal itu tentu saja membuatku kaget dan khawatir. Dia
segera berlari ke toilet. Segera kuikuti dia ke toilet. Dan benar saja, Soumi
muntah di wastafel.
“Neon
gwaenchana?”, tanyaku. Dasar Kai pabo! Sudah tau dia muntah, masih saja
ditanya. #author dijitak Kai, plak XD Aku membantunya dengan memijit
tengkuknya. Setelah sudah habis (?) dia terlihat terengah-engah, matanya
berair. Segera kubasuh mulutnya dengan air.
“Gwaenchanayo?”,
tanyaku lagi. Aku benar-benar khawatir melihatnya. Nafasnya terdengar
putus-putus dan wajahnya berkeringat.
“Gomawo,
aku hanya mual”, jawabnya.
“Kalau
kau merasa sakit, sebaiknya kau tidak usah bekerja dulu”, ucapku khawatir. Dia
menatapku tajam.
Hei! Apa ada yang salah?
“Jangan
memperdulikanku”, ucapnya ketus. Sebenarnya ada apa dengan yeoja ini? Kenapa
dia sangat ketus sekali? Aku hanya terpaku menatapnya pergi.
“Waegurae
Kai?”, tanya Chanyeol.
Aku hanya menggeleng dan kembali menatap Soumi yang masih
memegangi perutnya. Aku segera berdiri dan bertanya pada salah satu teman bartender
Soumi.
“Dimana
bosmu?”
~~~
“Soumi-ssi, kau boleh pulang
sekarang”, ucap bos Soumi. Soumi yang mendengar itu tentu saja kaget.
“Eh, apa anda memecat saya?”, tanyanya
takut. Aku terus memperhatikannya. Kasihan sekali dia. Harus bekerja untuk
mencari uang. Kenapa dia memilih untuk jadi bartender?
“Aniyo, hanya saja tadi ada namja
yang melaporkan kalau kau sakit, jadi kau sebaiknya segera pulang saja. Aku
tidak akan memotong gajimu”, jawab bosnya. Soumi menatapku. Sepertinya dia tahu
kalau aku yang sudah melakukannya. Aku hanya tersenyum kepadanya.
“Kamshamnida, aku akan segera
pulang”, ucap Soumi. Dia segera mengambil barang-barangnya dan pergi. Aku
segera menyusulnya.
“Ya! Kau mau kemana lagi Kai?”,
tanya Chanyeol yang sudah setengah mabuk menahan tanganku. Aku baru ingat kalau aku tidak
datang sendirian kesini.
“Aku harus mengikuti
Soumi, jadi kau nanti pulang sendiri ya”, jawabku. Segera aku berlari
menyusul Soumi. Fiuuh . . . untunglah dia belum pergi terlalu jauh.
“Berhenti disitu”, ucap
Soumi tiba-tiba. Sontak aku menghentikan
langkahku. Ada apa? Apa dia marah?
“Sebenarnya apa sih
maumu?”, tanyanya tanpa berbalik menatapku. Hei! Apa maksudnya? Tentu saja tadi
aku hanya ingin menolongnya.
“Apa maksudmu?
Jelas-jelas tadi aku hanya ingin menolongmu”, jawabku. Dia berbalik menatapku.
Wajahnya tetap. Datar. Itu semakin membuatku penasaran. Aku ingin mengetahui
semua tentangnya.
“Ani, bukan itu yang aku
maksud. Sebenarnya apa maumu dengan menolongku dan terus mengikutiku seperti
stalker”, ucapnya. Aku tersenyum dan mulai berjalan mendekat.
“Jangan mendekat! Cukup
satu meter untuk berbicara”, ucapnya. Baiklah, aku akan menuruti apa maunya.
“Kenapa aku selalu
mengikuti dan menolongmu?
Itu karena aku menyukaimu Soumi-ssi”, aku mengucapkannya dengan lancar, tanpa
sedikitpun keraguan.
“Kenapa kau menyukaiku?”, aku tersenyum
mendengar pertanyaannya.
“Sebelum aku menjawab
pertanyaanmu. Aku memintamu satu hal, dan aku harap kau tidak menolaknya”, oh
ayolah Lee Soumi. Jangan menampakkan wajah dinginmu terus, aku sangat sedih
bila melihatmu seperti itu.
“Mwo? Kau mau apa?”,
tanyanya. Inilah saatnya biar aku bisa dekat dengannya.
“Ayo jalan-jalan
denganku”, ajakku. Wajahnya terlihat kaget. Aku tau aku sedikit gila. Tapi aku
rasa itu wajar untuk orang yang sedang jatuh cinta sepertiku.
“Arraso”, jawabnya.
“Jinjja?”, tanyaku tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakannya.
“Sudahlah, aku tidak akan
mengulanginya. Palli, sebelum aku berubah fikiran”, ucapnya ketus. Segera aku
berlari untuk mengambil mobilku di parkiran bar. Aku benar-benar senang sekali
Soumi tidak menolak ajakanku.
“Kajja, masuklah”,
kubukakan pintu mobil untuknya. Dia terlihat ragu-ragu.
“Tenanglah, aku tidak
akan berbuat macam-macam padamu”, ucapku meyakinkannya. Dia menatapku lama.
Mencari keyakinan dari ucapanku (?) Akhirnya dia mulai masuk ke dalam mobilku.
Kami sama-sama tidak berbicara. Aku hanya ingin membuatnya sedikit tenang.
Apalagi dia baru saja muntah.
Kuhentikan mobilku di
tepi sungai Han. Kulihat dia takjub dengan pemandangan indah yang ada di
depannya.
“Duduklah
disini, aku
akan membeli kopi”, ucapku. Dia hanya mengangguk. Kuhampiri kafe yang tidak
jauh dari sini. Aku memesan American Latte dan Capuccino. Setidaknya kopi bisa
menghangatkan tubuhnya. Aku segera menghampirinya setelah membeli kopi. Kulihat
dari jauh, wajahnya terlihat seperti menyimpan sebuah kesedihan. Hei! Dia menangis?
“Gwaenchana?”, dia
terkejut saat tahu aku sudah ada di sampingnya. Dia dengan cepat dia menghapus airmatanya.
“Mana punyaku?”,
tanyanya. Aku memberikan Capuccino untuknya. Aku menatapnya. Masih ada bekas
kesedihan di matanya.
“Apa kau masih ingin tahu
kenapa aku bisa menyukaimu?”, tanyaku. Dia menatapku. Mata kami bertemu.
Perlahan, wajahnya memerah. Yeoja ini, benar-benar membuatku jatuh cinta. Wajah
meronanya terlihat sangat manis.
“Tentu saja, dan aku rasa
kau salah telah menyukaiku. Yeoja miskin dan dingin”,
aku tidak menyangka dengan apa yang sudah dikatakannya.
“Kau tahu, meyukai
sesorang tanpa alasan itu menandakan bahwa itu suka dengan tulus dan apa
adanya. Tapi kalau menyukai karena wajah, tingkah laku, dan lain-lain, itu
hanya suka karena nafsu”, ucapku sambil tersenyum. Entah bagaimana aku bisa
mengungkapkan perkataan seperti itu.
“Ya! Aku kan hanya bilang aku menyukaimu,
bukan berarti aku ingin kau jadi yeojachinguku. Tapi, kalau kau mau, boleh
saja”, jawabku mengodanya. Dia hanya merengut sebal.
Airmatanya menetes perlahan.
“Kenapa kau bekerja jadi
bartender?”, tanyaku hati-hati, berusaha untuk tidak menyakiti perasaannya.
“Kau tahu, zaman sekarang
sangat susah mencari pekerjaan. Apalagi aku belum lulus kuliah. Jadi aku dengan
sangat terpaksa bekerja jadi bartender, itu kalau aku masih ingin bertahan
hidup”, jawabnya. Matanya menatap ke arah Sungai Han.
“Dimana orangtuamu? Apa mereka tidak
bekerja?”, Soumi menatapku dengan tatapan sedih dan kembali menatap lurus ke
depan.
“Mereka meninggal dua tahun lalu.
Aku hidup sebatang kara. Mungkin kau orang pertama yang mau dekat denganku
setelah kepergian orantuaku”, jawabnya sambil
tersenyum. Aku tidak menyangka, di balik sifat dinginnya kepada orang-orang,
ternyata dia menyimpan kesedihan.
“Sepertinya kita
bernasib sama. Orang tuaku juga sudah meninggal. Hanya saja aku lebih beruntung
dibanding kamu. Aku masih mempunyai paman yang mau mengurusku dan adik
perempuanku”,
aku menatapnya sambil tersenyum. Bulir-bulir air
mata kembali mengalir dari matanya.
“Aku harap setidaknya kau mau
berteman denganku”, ucapku sambil menyodorkan tanganku untuk bersalaman.
“Arraso, aku mau jadi temanmu. Tapi
aku tidak mau bersalaman denganmu”, jawabnya ketus sambil mengusap air matanya kasar. Aigoo,
sifat dinginnya mulai lagi.
“Ya! Cepat minum kopimu sebelum
dingin!”, ucapnya. Yeoja ini terlihat sangat manis saat
sedang marah. Tidak heran, inilah yang membuatnya diincar banyak lelaki di bar.
“Emm. . . sebenarnya,
kamu tadi kenapa bisa muntah?”, tanyaku. Dia menatapku sejenak.
“Aku tidak tahu. Tapi,
setiap kali aku mencium bau alcohol, perutku jadi terasa mual dan ingin
muntah”, jawabnya. Dalam keadaan seperti itupun dia masih saja berkeras untuk
bekerja sebagai bartender. Kasihan sekali yeoja ini.
“Pinjam ponselmu”, ucapku. Dia
menatapku dengan wajah bingung.
“Untuk apa?”, tanyanya bingung.
“Sudahlah, berikan saja”, ucapku bersikeras meminjam ponselnya. Dia segera
mengambil ponselnya dan menyerahkan padaku. Dengan cepat, kuketik nomor
ponselku.
“Ini nomorku. Kalau ada yang kau
butuhkan, panggil aku saja” perlahan wajahnya mulai
memerah. Tuhan, aku menyukai gadis ini. Ani, aku mencintainya Tuhan. Biarkan
aku menjaga bidadarimu ini.
“Gomawo”
Kai POV end
Soumi POV
“Soumi-ah, jangan takut
sayang. Berusahalah”, kulihat umma dan appa ada di depanku mengenakan pakaian
serba putih. Aku mencoba memeluk mereka. Gagal. Aku seolah menembus bayangan.
“Umma, appa, bogoshipo.
Maafkan Soumi yang membuat umma dan appa pergi menemui Tuhan. Maafkan Soumi”,
ucapku. Airmata mengalir dari mataku. Umma dan appa tersenyum.
“Semua itu bukan salah
Soumi. Tuhan memang ingin memanggil kami, jadi jangan terus bersedih ne?
Carilah orang yang bisa melindungimu dan mencintaimu”, ucap umma. Tangisanku
semakin menjadi.
“Pasti ada orang yang
akan menyayangimu sayang. Pasti”, ucap appa. Aku menggeleng kuat-kuat. Bulir
airmata terus keluar dari mataku.
“Kajima. Soumi takut
sendiri. Kumohon jangan pergi”, aku berusaha menggapai tangan ummaku yang
semakin lama semakin menjauh.
“Umma dan appa selalu
bersamamu sayang. Selamanya”, hilang. Umma dan appa lenyap seperti ditelan
kabut. Tiba-tiba semua kejadian saat umma dan appaku meninggal seperti diputar
dengan cepat di depanku. Bagaimana aku dengan manja meminta umma dan appa untuk
pergi berjalan-jalan, agar aku bisa mendapat kebebasan di rumah, hingga
akhirnya umma dan appa tewas karena kecelakaan saat berjalan-jalan.
Perlahan, pemandangan di depanku mulai berganti dengan pemandangan
kamarku. Aku bermimpi.
“Umma, appa, Soumi
takut. Soumi takut sekali”, ucapku lirih. Airmata tidak dapat kuhentikan dari
mataku. Kupeluk erat gulingku. Mencoba melepas kesedihanku.
~~~
Kulangkahkan kakiku
pelan, keluar dari pelataran Universitas Kyunghee. Kulihat orang-orang bersama
seseorang di sampingnya. Tidak seperti aku. Alone. Itulah aku. Kesendirian
adalah sahabat akrabku. Tapi sepertinya kali ini tidak. Kulihat mobil sport
berwarna putih berhenti tepat di depanku. Perlahan kaca mobil itu turun dan
menampakkan wajah orang yang mulai mengisi hatiku. Dia adalah Kai.
“Annyeong! Aku yakin
kau sendirian”, sapa Kai.
“Mau apa kau?”,
tanyaku. Aku yakin dia kesini dengan sebuah tujuan dan tidak mungkin hanya
ingin menemuiku.
“Aku ingin menjemputmu,
tidak boleh?”, dugaanku sepertinya sedikit meleset. Perlahan wajahku mulai
memanas. Tunggu! Darimana dia tahu kalau aku kuliah disini?
“Darimana kau tahu aku
kulaih disini?”, dia tersenyum saat mendengar pertanyaanku.
“Bosmu dengan sangat
baik hati mengatakannya kepadaku”, jawabnya. Aissh, aku lupa kalau ada data
yang kuberikan saat dulu aku melamar pekerjaan di bar. Aissh, pabo!
“Kajja! Kuantar kau
pulang”, aku hanya mengangguk pasrah. Selama perjalanan, Kai sama sekali tidak
membuatku diam. Entah bagaimana, aku jadi menceritakan kisah-kisahku, hobiku,
kesukaanku, dan juga impianku. Aku merasa bahagia saat bersamanya. Dia membuat
lelucon-lelucon yang bisa membuatku tertawa. Apa aku sudah jatuh cinta dengan
namja ini?
“Ya! Jalan ke rumahku
bukan disini”, aku kaget saat tau kalau Kai mengemudikan mobilnya ke arah yang
berlawanan dari arah ke rumahku.
“Aku hanya ingin
mengajakmu bersenang-senang”, ucapnya sambil mengedipkan matanya. Wajahku
terasa memanas. Jangan! Jangan lakukan itu! Jangan terlalu dekat denganku! Tapi
kenapa aku tidak bisa menolaknya? Tuhan, ottokhae?
Mobil Kai mulai masuk
ke taman bermain. Aku menatapnya tidak mengerti.
“Kajja. Aku akan
membuatmu melepaskan kesedihanmu” ditariknya tanganku. Kami mulai memasuki
taman bermain.
Bahagia. Itu yang
kurasakan sekarang. Kai mengajakku ke wahana-wahana yang bisa membuatku tertawa
dan melupakan sejenak kesedihanku. Tuhan, tolong jangan hentikan rasa bahagia
ini.
~~~
Kai datang lagi.
Mungkin bisa dibilang setiap hari Kai selalu datang ke bar untuk menemuiku.
Bolehkah aku berharap hubungan ini lebih dari sekedar teman?
“Annyeong Soumi-ah”,
sapanya. Aku tersenyum melihatnya. Senyumku seketika memudar saat melihat
seorang yeoja cantik yang ada di sampingnya.
“Ada perlu apa
kemari?”, tanyaku dengan nada datar. Sepertinya dia heran dengan perubahan
ekspresiku. Hei! Apa perdulinya? Toh dia sudah punya yeojachingu kan?
“Ah, aniya. Aku hanya
ingin menemuimu. Kau kan tau aku kalau kemari pasti yang kutemui pertama adalah
kamu”, deg! Rasanya jantungku berulah. Mana mungkin dia kemari menemuimu? Dia
hanya ingin mengenalkan yeojachingu barunya kan?
“Mian. Aku sibuk. Kau
mau pesan apa? Biar segera kusiapkan”, ucapku datar. Cukup! Apa aku cemburu?
“Baiklah. Berikan aku
vodka saja”, jawabnya kecewa. Bagus! Lebih baik kau kecewa kepadaku. Toh kita
hanya teman kan? Segera aku mengambilkan apa yang ia minta. Mata Kai terus
menatapku.
Saat aku pulang,
kulihat Kai sudah tidak ada. Mungkin dia marah? Sebenarnya apa yang aku
pikirkan? Aku benar-benar pabo! Seharusnya aku tahu kalau dia hanya ingin
berteman denganku, tidak lebih. Kenapa aku mengharapkan lebih? Tuhan, ini
sangat sakit. Kuremas dada kiriku. Terasa sangat sakit.
~~~
“Soumi-ah. Ada apa
denganmu sayang?”, tanya appa. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran.
“Kau tidak boleh begitu
sayang. Jangan hanya berharap. Berusahalah untuk mendapatkannya”, ucap umma.
Mereka terlihat sangat sedih. Airmataku mengalir deras.
“Umma, appa, aku takut.
Aku takut kalau Tuhan akan mengambilnya. Lebih baik aku menjauhinya”, jawabku.
Umma menggeleng lemah.
“Itu salah sayang.
Kalaupun dia mengecewakanmu, setidaknya dia masih ada di sisimu”, tangan umma
perlahan mengelus pipiku lembut. Kucoba memegang tangannya. Gagal.
“Selamat tinggal
Soumi”, ucap appa. Digandengnya tangan umma dan mulai pergi menjauh.
“Andwaeeee!!!”,
teriakku. Aku terbangun dari mimpiku. Tuhan, tolong aku. Apa yang harus
kulakukan?
Entah bagaimana. Seperti ada sesuatu yang mendorongku untuk mengambil
ponselku. Kupencet nomor Kai.
“Yeobseyo?”, suara Kai
terdengar berat. Sepertinya aku mengganggu waktu istirahatnya. Apa yang harus
kukatakan? Aku sama sekali tidak menginnginkan melakukan ini.
“K-K-Kai”, akhirnya
suaraku keluar. Lebih terdengar gemetar. Bahkan aku sama sekali tidak ingin
berbicara. Bagaimana mungkin suaraku tiba-tiba keluar tanpa kehendakku?
“Soumi?? Waegurae?”,
tanya Kai bingung. “Tolong aku. A-a-aku takut”, airmata terus mengalir dari
mataku.
“Kau dimana?”, cukup!
Dengan susah payah aku menggerakkan tangangku dan kututup ponselku. Sambungan
terputus.
“Tuhan, apa yang kau
lakukan? Aku tidak mau kehilangan dia! Lebih baik dia bahagia dengan orang
lain, daripada denganku. Kenapa kau melakukan ini Tuhan??”, teriakku histeris.
Fikiranku benar-benar sangat kacau. Sebenarnya apa yang kuinginkan?
“Tok! Tok! Tok!”,
kudengar suara ketukan keras dari pintu apartemenku.
“Soumi! Buka
pintunya!”, teriak Kai. Aku menggeleng kuat-kuat dan memeluk lututku. Aku tidak
mau dia kesini. Aku tidak mau dia pergi menyusul orang tuanya hanya karena
kesalahanku.
“Pergi! Aku tidak mau
kau disini!”, teriakku. Brak!! Pintu apartemenku didobraknya hingga sukses
terbuka. Kai segera menghampiriku.
“Kau kenapa Soumi?”,
tanya Kai. Dia terlihat sangat khawatir.
“Pergi! Aku benci kamu!
Pergi!”, teriakku histeris. “Ada apa Soumi-ah? Kenapa kau begini?”, tanyanya
lagi. Aku menatap wajahnya.
“Kenapa kau membuatku
gila? Wae Kai?”, tanyaku. Dia memelukku erat.
“Katakan padaku, apa
yang membuatmu gila”, ucapya.
“Akulah yang membuat
kedua orang tuaku meninggal. Akulah yang membuat diriku sendiri menjadi
sebatang kara hanya karena keegoisanku sendiri”, Kai memelukku semakin erat.
Mencoba untuk sedikit menenangkanku.
“Aku mencintaimu Kai.
Tapi aku takut. Aku takut kau pergi dari sisiku karena kesalahanku. Karena itu
aku bersikap dingin padamu. Tapi aku tidak bisa kalau kau tidak ada di sisiku.
Aku terlalu mencintaimu. Aku tahu kau hanya menganggapku sebagai temanmu, tapi
tolong jangan tinggalkan aku”, jelasku. Tubuhku terasa bergetar di dalam
pelukannya.
“Ssst. . . uljima.
Kematian itu sudah kehendak Tuhan Soumi. Dulu saat orangtuaku meninggal, aku
sempat merasa kalau mereka meninggal karena kesalahanku. Tapi, aku yakin,
mereka akan sangat sedih kalau melihatku terus terpuruk”, tangisanku sedikit
mereda saat mendengar kisahnya.
“Aku menganggapmu
teman, karena kamu bahkan tidak pernah membalas perasaanku. Kamu tahu Soumi,
aku sangat berharap kau akan membalas perasaanku, dan hubungan ini akan menjadi
lebih dari sekedar teman”, kuangkat wajahku untuk menatap wajahnya.
“Lalu, karena aku tidak
membalas perasaanmu, kau mencari yeojachingu lain begitu?”, tanyaku. Dia
terlihat bingung dengan pertanyaanku.
“Apa maksudmu?”,
tanyanya bingung. “Yeoja yang tadi kau ajak ke bar. Bukankah dia yeojachingumu?”,
tanyaku. Tanpa kuduga, dia tertawa.
“Hahahaha. Jadi itu
yang membuatmu bersikap dingin padaku dan menjauhiku tadi?”, tanyanya. Aku
mengangguk pelan. Apa ada yang salah? Kenapa dia tertawa?
“Yeoja tadi itu adalah
dongsaengku. Sebenarnya aku ingin mengenalkanmu padanya. Dia sangat penasaran
denganmu, yeoja yang membuatku jatuh cinta. Tapi kau malah bersikap dingin
padaku”, aku melongo mendengar penjelasannya.
“Dia d-d-dongsaengmu?”,
tanyaku. Dia mengangguk.
“Dasar bodoh!”,
ejeknya. Dia kembali memelukku. “Tapi aku bersyukur ada kejadian hari ini.
Kalau tidak, mungkin selamanya kau tidak akan membalas perasaanku”, ucapnya.
Wajahku terasa memanas. Aku benar-benar malu. Aku sama sekali tidak mengira
bahwa yeoja itu adalah dongsaengnya.
“Kai, apa kau akan selalu di sisiku?”, tanyaku lirih. “Tanpa kau tanya
dank kau mintapun aku akan selalu ada di sisimu”, jawabnya. Perlahan dia
mengangkat wajahku menatapnya.
“Soumi-ah. Jangan takut. Aku akan mengisi hari-harimu, memenuhi hatimu,
dan membantumu meghapus masa lalumu. Aku akan selalu ada di sisimu Soumi.
Melindungimu”, aku tidak bisa mengatakan apa-apa. Tenggorokanku terasa kering.
Perlahan bibirnya bertemu dengan bibirku. Melumat bibirku pelan. Lembut, tanpa
ada nafsu.
“Kau tahu, saat aku pertama kali bertemu denganmu, aku seperti merasakan
Tuhan telah mentakdirkan kamu untukku. Saranghae Lee Soumi”, ucapnya. Aku memeluknya
erat, seolah tidak akan melepaskannya.
“Nado saranghae”, airmataku kembali mengalir. Kali ini bukan airmata
kesedihan, melainkan airmata kebahagiaan.
.
.
.
.
.
Kini aku tidak sendiri kan?
Kau datang dari sana dan mendekatiku
Dimanapun di seluruh dunia,
aku hanya melihatmu
Aku hanya mencintaimu yang sangat berharga
Ketika kesedihan berlalu kau akan menjadi
‘the only one’ untukku
Ketika airmataku kering
Kaulah satu-satunya matahariku
Aku mencintaimu
_THE END_
0 komentar: