Baby
Don’t Cry
Author : Ms. FS
Cast : -Oh Sehun
-Xiao Lulu (yeoja)
-Other cast
Genre : Romance, tragedy, sad
Rate : Author bingung soal beginian -_-
Fiuh, saya merasa benar-benar
aneh. Padahal di tengah-tengah UKK, saya malah mendapat inspirasi buat FF ini. Sangat
disarankan baca sambil dengerin lagu EXO yang ‘Baby Don’t cry’. Kalau nggak
punya nggak papa deh. RCL dari chingu sangat saya harapkan. No Bash! No
Plagiat! Udah ah, tanpa banyak bacot, silahkan dinikmati ^o^)/
Baby don’t cry
tonight
None of this
will have happened
It’s not you
who will become short lived
So baby don’t
cry, cry
Because my
love will protect you
.
.
.
-Flashback-
“Hiks, hiks, hunnie. Aku lapar”,
tangan kecilmu menarik-narik baju belakangku. Suara perut keroncongan berdemo
ingin segera diisi memenuhi telingaku. Aku baru berumur 7 tahun sedangkan kau
baru berumur 5 tahun saat itu. Aku yang masih terlalu kecil untuk berpikir
dewasa tentang apa yang menyebabkanmu menderita seperti itu hanya bisa
membawamu ke rumahku, meminta umma untuk memberikanmu makanan.
“Kenapa kamu tidak makan di
rumah?”, tanyaku sambil menatapmu yang tengah makan dengan lahap. “Umma dan
appa Lulu tidak ada di rumah”, jawabmu dengan mulut penuh makanan. Kalau sudah
begini umma dengan tangan terbuka selalu menerimamu kapanpun saat kau lapar.
Entah pikiran
apa yang melintas di kepalaku saat aku dengan cepat mengatakan kalimat yang
sangat berpengaruh besar. “Aku sayang Lulu”, ucapku sambil mataku tak pernah
lepas darimu yang masih saja makan dengan lahap. “Jinjja? Kalau begitu, maukah
Hunnie selalu di sisiku? Aku takut kalau nanti umma dan appa pergi, aku nanti
akan sendirian”, pintanya dengan mimik lucu. Umma tertawa mendengar celotehan
kami. Khas anak kecil.
“Umma, bolehkah aku kelak
menikah dengan Lulu? Aku menyayanginya umma”, umma sontak berhenti tertawa saat
mendengar pertanyaanku. “Itu kan dipikirkan kelak saat kau dewasa Sehun-a. yang
terpenting sekarang jagalah selalu Lulu dengan baik, agar kelak kau bisa
menikah dengannya”, ucap umma membuat hatiku berbunga seketika. Bagiku yang
saat itu masih berfikiran dangkal, ucapan umma sama dengan persetujuan.
“Yey! Hunnie akan jadi
pengantinku!”, teriakmu senang. Itulah senyum terindah yang pernah kulihat dari
wajah manismu.
***
Mataku kosong.
Menerawang. Tak tahu apa yang tengah kupikirkan. Kuedarkan pandanganku di
seluruh ruangan flat bobrok milikku. Ah, ani. Milik kita. Baru seminggu yang
lalu kita hidup bersama, tapi sekarang semuanya hanya kenangan belaka. Hanya
kenangan yang mungkin akan segera kuakhiri.
Pandanganku
tertuju pada sebuah foto usang berbingkai kayu yang berhiaskan jamur di
sana-sini. Kuambil pelan foto itu. Takut tanganku yang terbiasa bekerja kasar
membanting tulang, merusaknya. Disana, aku tengah tertawa lebar bersama gadisku.
Ya, gadisku. Yaitu kau. Kau yang sudah 21 tahun bersamaku. Aku sudah tak ingat
kapan terakhir kali dirimu yang sangat kucintai dengan segenap jiwa ragaku ini
tersenyum.
Tes! Butiran
kristal dari mataku tepat mengenai wajahmu. Dengan cepat aku membersihkannya.
Aku tak mau menodai wajahmu yang selalu menjadi candu untuk kubelai dengan
lembut. Aku adalah namja paling bodoh di dunia. Namja yang dengan bodohnya
tidak pernah bisa membuat hati dan mata gadisnya berhenti mengeluarkan airmata.
-Flashback-
Aku baru saja melangkahkan
kakiku dari kelas sesudah mata kuliah sastra yang sangat membosankan. Langkahku
terhenti saat suara lembutmu memanggilku dengan pelan.
“Hunnie-a”, panggilmu lirih.
Tanpa berpikir dua kali pun aku tahu bahwa kaulah yang memanggilku, karena
hanya kaulah yang memanggilku dengan panggilan sayang itu. Aku memandangmu
lembut. Jantungku serasa berhenti berdetak saat kulihat matamu memerah, tetapi
bibirmu mencoba tersenyum walaupun aku tahu bahwa itu senyum terpaksa.
“Lu? Neo gwaenchana?”, tanyaku
panic. Bodoh! Tak mungkin kau baik-baik saja jika dalam keadaan seperti ini.
Aku merengkuhmu ke dalam pelukanku. Entahlah, aku tak ingin tangisanmu
terdengar. Kalaupun kau menangis, biarlah aku yang mendengarnya.
“Nan gwaenchana hunnie. Kau tak
perlu sekhawatir itu”, jawabmu gugup. Apa ini? Kenapa kau berkata seperti itu?
Apa yang kau sembunyikan Lu? Aku segera menarikmu ke dalam kelasku yang dalam
keadaan kosong.
“Hiks, hiks”, bingo! Aku
mendengarnya. Tangisanmu keluar. Lagi. God, apa yang kau lakukan hingga
membuatnya seperti ini? Kuangkat wajahmu menatapku. Jiwaku terasa hancur
berkeping-keping melihatmu dengan mata basah memerah, bibir bergetar menahan
suara tangisan. Kuusap pelan kristal air yang terus mengalir dari mata indahmu.
“Apa yang terjadi? Ceritakanlah.
Kumohon Lu”, pintaku sambil tak henti-hentinya berusaha menghapus airmata
sialan itu. Tanganmu dengan gemetar mengambil secarik kertas dari dalam tas
kecilmu dan menyerahkannya padaku. Aku tak tahu apa isi kertas itu, tapi aku
yakin itulah yang membuatmu benar-benar kacau. Kubuka dan kubaca dengan cepat
kertas itu. Tak butuh satu menit untuk mengetahui apa isinya. Hasil tes
kesehatan. Positif kanker otak memasuki stadium dua. Aku tak tahu apa yang
harus kukatakan. Kupeluk dengan cepat tubuh kecilmu. Kukecup lembut pucuk
kepalamu.
“Apa yang harus kulakukan
hunnie? Aku tak mau orangtuaku tahu tentang ini”, tangisanmu semakin kencang.
Tes! Sial! Dalam keadaan seperti ini seharusnya aku membuatmu tenang, yang
terjadi malah sebaliknya.
“Katakanlah yang sebenarnya Lu.
Mereka adalah orangtuamu. Aku yakin mereka akan berusaha memberikan yang
terbaik untukmu”, saranku. Kau menggelengkan kepala dengan kuat. “Aku terlalu
takut hunnie-ah”, balasmu. “I’m here Lu. I’m with you”
***
Baby don’t
cry~ in this stormy night
(like the sky
is about to fall)
Baby don’t cry
tonight
It’s fitting
for a night like this
.
.
.
Kalau aku tak
mempunyai hati dan perasaan di dalam diriku, aku pasti akan langsung
meninggalkanmu saat membaca tentang kanker otak sialan itu. Tapi tidak. Aku
mempunyai hati dan perasaan, dan semua itu hanya mengorbit padamu Lu.
Matahariku. Jullietku. Dewiku.
Lu, kau sangat
bodoh. Kau miskin. Tapi aku tak bisa dan tak akan bisa melupakanmu,
meninggalkan dirimu begitu saja. Gadis rapuh milikku. Gadis yang selalu saja
menangis. Gadis yang selalu saja mendapatkan apa yang disebut masalah
kehidupan.
Jantungku
terasa bekerja lebih cepat saat mengingat lagi kenangan masa lalumu. Masa lalu
kita. Hormon adrenalinku dengan cepat mendorongku untuk melempar foto dirimu
bersamaku yang di dalam genggamanku. Pecah. Bingkai foto itu pecah, tak ubahnya
dengan hatiku yang sama pecahnya.
Lu, kau bodoh!
Seandainya saja kau dulu bisa mendapatkan beasiswa, kau tak akan mendapatkan
bayaran atas tak pernahnya kau membayar SPP.
-Flashback-
Kuedarkan pandanganku ke seluruh
bagian kelasmu. Kosong yang ada hanya beberapa gelintir anak yang masih sibuk
dengan kegiatannya masing-masing. “Krystal!”, panggilku pada salah satu
sahabatmu. “Eoh, Sehun. Waeyo? Tumben kau tidak bersama Lulu?” tanyanya.
“Itulah yang ingin kutanyakan. Kalaupun aku tahu dia dimana, aku tak akan
memanggilmu”, balasku sebal. Sunny, yang juga sahabat dekatmu ikut bergabung
dengan kami.
“Kau mencari Lulu eoh?”,
tanyanya langsung. Aku hanya mengangguk mengiyakan. “Aku juga tak tahu pasti.
Tapi, saat kelas berlangsung, asisten Rektor memanggilnya. Kau tahu, wajahnya
sangat pucat saat dia dipanggil. Sehun-a, sebenarnya ada apa dengan dia?”,
sial! Ini pasti soal pembayaran kuliah yang belum juga kau lunasi.
“Apa dia sudah lama?”, tanyaku
lagi. “Mungkin sekitar 1 jam yang lalu”, jawab Sunny. Tanpa berterima kasih,
tanpa pamit, aku langsung melesat cepat. Ruang Rektor. Aku yakin kau ada
disana. Masalahnya, Rektor bukanlah orang baik. Dia akan meminta apapun sebagai
syarat jika seorang mahasiswa tidak bisa melunasi biaya kuliahnya. God, kalau
saja aku tidak miskin, aku pasti akan membayar biaya kuliah Lulu. Kakiku
bergetar hebat saat aku baru saja sampai di depan Ruang Rektor.
Kau tahu Lu? Aku serasa mati di
tempat saat aku mendengar suara isakanmu dari dalam sana dan aku tahu itu
pertanda buruk. Entah setan mana yang mendorongku untuk menerobos masuk ke
ruang rector. Disana, aku melihatmu dalam keadaan yang sangat menyedihkan
dengan posisi rector berada di atasmu.
“Eoh, ada tamu rupanya. Maafkan
aku. Aku harus menuntaskan tugas dulu”, inikah wajah orang yang dihormati satu
kampus? Cih! Dia tak ada bedanya dengan monyet yang tak berotak, tak berakal,
tak berperasaan. Aku bersyukur. Setidaknya kau tidak menikmatinya Lu. Aku bisa
melihatnya dari wajahmu.
“Seongsaengnim, saya ada urusan
mendesak dengannya. Bisakah saya membawanya pergi?”, tanpa persetujuannya, aku
langsung menarikmu, memakaikanmu pakaian dengan cepat. “Seongsaengnim, bisakah
anda nanti pukul 6 sore datang ke kelas saya? Saya ada urusan penting dengan
anda, dan saya harap anda datang tepat waktu”, ucapku cepat. God, bahkan aku
lupa kalau tadi itu pasti sangat menyakitkan bagi Lulu hingga dia tak bisa
berjalan. Akupun langsung menggendongmu.
Tubuhmu bergetar. Bajuku basah
oleh keringat dan airmatamu yang tak berhenti keluar. Kau sangat bodoh Lu. Kau
bahkan lebih memilih harga dirimu hancur hanya untuk membayar biaya kuliah
bodoh itu!
…
Jam 6 sore. Dengan senyum setan,
aku menatap ke arah rector bajingan itu. “Apa yang kau inginkan? Kau ingin
membunuhku eoh?”, cih! Bahkan disaat mendekati ajalpun dia masih sempatnya
sombong. Tanpa menjawab pertanyaannya, aku langsung meringsek maju,
mendekatinya. “Setan harus mati”, ucapku. Kutusukkan pisau di genggamanku tepat
mengenai perutnya. Aku tersenyum keji. Itu tak seberapa. Kutusukkan lagi
pisauku ke arah jantungnya berkali-kali. Aku yakin malaikat maut sudah
membawanya pergi.
***
You are my
girl
Always be my
girl
I will do
anything for you
Cause I never
wanna let you cry
Baby, please
don’t cry
.
.
.
Aku tertawa
keras. Mengingat semua yang telah aku lakukan. Lu, bahkan aku telah membunuh
sang Rektor, hanya untukmu. Only you. Ternyata polisi zaman sekarang masih juga
kesulitan menghadapi kasus seperti itu.
Lu, kau tahu,
mungkin inilah yang membuat kita selalu bersama. Aku miskin, kau miskin. Aku
bodoh, kau pun juga bodoh. Kita adalah pasangan paling serasi di dunia. Bahkan
ummaku pernah mengatakan itu.
Lu, kenapa
semua itu harus terjadi padamu? Gadisku. Kenapa tak aku saja yang menerima
semua ini?
-Flashback-
Aku baru saja mengantarkanmu
pulang ke rumahmu. Langkahku terhenti seketika saat kudengar suara barang pecah
dari dalam rumahmu. Kau mematung di depan rumah. Tubuhmu bergetar. Lagi. Kau
menangis.
“Oh, jadi kau sekarang
menyalahkanku ha?? Dasar namja brengsek!! Masih untung aku mau bekerja demi
kehidupan kita, tapi apa? Sekarang kau meminta kita bercerai??”, teriakan
ummamu menggetarkan hatiku. Segera kurengkuh tubuhmu. Kututup kedua telingamu
dengan tanganku, agar kau tak mendengar suara makian-makian tak bermoral itu.
“Kau tak mau disalahkan eoh??
Kalau begitu, buang saja anakmu yang selalu saja menyusahkan itu!”, balasan
appamu sontak membuat ummamu tak bisa berbicara. Kau kini bergetar semakin hebat
dalam pelukanku. “Ayo kita pergi lu”, aku segera menarikmu pergi dari rumahmu
yang penuh dengan hawa pertengkaran.
“Kenapa semua ini terjadi
padaku, hunnie?”, matamu menatap kosong ke arah depan. Deg! Kau tak
menyadarinya, darah mengalir pelan dari hidungmu. God, apalagi ini? “Lu,
hidungmu berdarah!”, teriakku panic. Kau hanya diam saja, seolah sudah biasa
menerimanya. Aku segera menghapusnya dengan lengan jaketku. “Kajja kita ke
rumah sakit!”, aku segera menarikmu. Tapi apa? Kau bahkan hanya mematung di
tempat.
“Kenapa kau panik sih? Aku
baik-baik saja”, ucapmu santai. “Aku tak mau kehilanganmu Lu. Kajja, kita harus
pergi sebelum semuanya terlambat”, kau bahkan tertawa saat aku menarikmu.
“Kalau aku pergi, bukankah itu lebih baik? Aku tak akan menyusahkan diriku dan
dirimu lagi”, deg! Tuhan, tolong ingatkan padanya bahwa aku sangat
mencintainya, agar dia mau melakukan apa yang kuminta.
“Sudahlah
hunnie, aku hanya kecapekan. Mungkin aku akan menginap di rumahmu, malam ini.
Kajja kita ke rumahmu”, aku hanya menurut. Hanya menurut. Dan berdoa agar kau
baik-baik saja.
***
Kau bodoh Lu
dan aku mencintaimu. Aku hanya bisa terus mengatakan itu. Aku mencintaimu yang
bodoh, aku mencintaimu yang berhati tulus, aku mencintaimu karna aku ingin
melindungimu, dan aku adalah namja bodoh. Kalau saja aku tidak mencintaimu, aku
tak akan pernah terjerumus dalam duniamu yang penuh dengan benang-benang yang
tak akan bisa ketemu ujungnya.
Lu, kau keras
kepala. Kalau saja kau menuruti perkataanku untuk berobat, kau tak akan pergi
Lu. Setidaknya kau masih mempunyai waktu untuk hidup walaupun hanya untuk satu
Bulan. Setidaknya aku akan berusaha mencari dana untuk pengobatanmu.
Bibirku
terangkat ke atas membentuk bulan sabit kecil. Aku memandang flat kita yang
penuh dengan hiasan karyamu dan foto-foto kita. Kuambil pecahan kaca figura
yang baru saja kurusak. Aku menggenggamnya kuat. Darah mengucur pelan dari
jari-jariku. Saat terakhir itu, kembali terputar dalam otakku.
-Flashback-
“Hunnie, bagaimana kalau ini
diletakkan disini?”, tanyamu. Hari ini, dengan sedikit bantuan dari orangtuaku,
kau dan aku akhirnya bisa tinggal bersama, walaupun hanyalah sebatas flat
kecil. Ah, lihatlah! Wajahmu yang belepotan dengan cat terlihat sangat manis.
“Apa itu Lu? Apa kau yang membuatnya?”, kau mengangkat tinggi-tinggi hasil
buatan tanganmu. “Hiasan dinding berbentuk rusa. Bagaimana menurutmu?”, aku
tersenyum. “Letakkan saja di kamar kita Lu”, ucapku. Kau tersenyum senang.
God, apakah kau tak
mengizinkanku dan Lulu untuk berbahagia walau hanya sejenak saja?
Saat
itu, aku baru saja keluar dari kamar mandi setelah seharian penuh memindahkan
barang ini-itu, membersihkan ruangan, dan menghiasnya. “Lu, apakah kau lapar?”,
teriakku dari dapur hendak memasak sesuatu untuk makan malan kita. Tak ada sahutan
darimu. Aku segera mencarimu di kamar. Disanalah kau, tergeletak dengan hidung
penuh dengan darah. Aku panic bukan main. Dengan mobil pinjaman appa, aku
segera membawamu ke rumah sakit.
“Ini
sangat parah. Kankernya sudah memasuki stadium akhir. Kalau sekarang melakukan
pengobatan, nyawanya mungkin masih bisa tertolong hingga 3 sampai 5 Bulan.
Kalau tidak, mungkin dia hanya bisa bertahan beberapa hari saja. Bukankah dulu
saya pernah menyarankan kepadanya untuk melakukan pengobatan?”, sang uisa membawa
kabar buruk, terburuk di dunia. Aku tak membalas ucapan uisa, dan berjalan
gontai menuju ruanganmu.
“Lu,
apa kau baik-baik saja? Bukalah matamu”, kugenggam tanganmu dengan kuat. Matamu
terbuka secara perlahan. Syukurlah, kau hanya pingsan. “Hunnie, aku kan tidak
apa-apa. Ayo kita pulang”, kau bahkan terlihat tak ada beban sama sekali. Kau
juga masih bisa tersenyum. “Aniyo. Kau harus dirawat Lu. Kau sakit”, bantahku.
Kau menggeleng kuat.
Dengan
segala keterpaksaan, akhirnya aku membawamu pulang. Appa dan ummaku panic
sekali saat tahu apa yang menimpamu. Lihatlah Lu, masih ada orang yang
menyayangimu.
6 days later…
“Hunnie, aku lapar. Suapi aku
ne?”, rayumu dengan manja. “Arraso, chakkaman ne”, aku segera membuatkanmu
makanan untukmu. Aku memasak dengan hati-hati. Berusaha sebisa mungkin agar
rasanya menjadi sempurna.
“Lu, makananmu sudah siap! Omo!
Kenapa malah tidur sih?”, rasanya jantungku was was melihatmu tertidur. “Lu,
ireona”, kutepuk pelan pipimu. Tak ada respon. Aniya, jangan berpikir
macam-macam Oh Sehun! Aku mencoba meraba pegelangan tanganmu. Tak ada denyut.
Kucek di bawah hidungmu. Tak ada hembusan. Tubuhku merosot ke lantai. Lidahku
kelu. Aku menggeleng kuat-kuat. Butiran-butiran Kristal mulai mengalir di
mataku.
“Lihatlah Lu, bahkan sekarang akulah
yang menangis. Tunggulah aku Lu”
***
I am completely
drunk at your movements
I even forgot
how to breathe
.
.
.
Kuedarkan
pandanganku untuk terakhir kalinya ke seluruh flat kita. Jari-jariku yang
berlumuran darah mengambil dengan hati-hati foto kita yang tertutup pecahan
kaca. “Lu, aku akan menyusulmu. Tunggulah aku disana”, bisikku lirih.
Pelan. Kugoreskan
pecahan kaca yang masih kupegang kea rah pembuluh nadiku. Semakin dalam. Darah.
Aku tersenyum. Bumi mulai berputar. Dingin. Disana, aku melihatmu mengulurkan
tanganmu. Aku meraihnya. Baby don’t cry. I’m with you. Kita bersama Lu,
selamanya.
***
My eyes naturally follow you every time you walk
Guide me
Take me
together with you
You’re my only beautiful butterfly
Don’t go out
of my sight
Baby don’t cry
Cause I always
here
To protect you
THE
END